Di Australia, para pekerja kini dilindungi secara hukum jika mereka mengabaikan kantor mereka di luar jam kerja. Karena, undang-undang (UU) baru terkait “hak untuk memutuskan hubungan” mulai diberlakukan di “Negeri Kanguru” pada Senin (26/8) lalu, Buzztie.
UU ini dirancang untuk melindungi waktu pribadi para pekerja dari email maupun panggilan terkait pekerjaan mereka.
Aturan itu bakal memastikan para karyawan, dalam banyak kasus, tidak bisa dihukum karena menolak membaca atau menanggapi kontak dari kantor atau bos mereka di luar jam kerja. Bagi atasan atau perusahaan yang tetap bersikeras, pihak berwenang bisa mengintervensi, dan bahkan bisa mengenakan denda hingga ribuan dollar Australia.
Apabila terjadi perselisihan, karyawan dapat mengadu kepada lembaga yang mengatur hubungan antara pengusaha dan pekerja, Fair Work Commision (FWC).
FWC bakal menentukan ketidakwajaran berdasarkan faktor peran, keadaan pribadi, dan metode kontak. Jika pengusaha terbukti melanggar, FWC berhak mengenakan denda 19.000 dollar Australia (sekitar Rp 198 juta). Sementara, denda maksimal bagi perusahaan mencapai 94.000 dollar Australia (sekitar Rp 981 juta atau hampir Rp 1 miliar).
Para pendukung UU baru berpendapat, aturan ini akan memberikan kepercayaan diri bagi para pekerja untuk melawan invasi yang terus menerus terhadap kehidupan pribadi mereka melalui email, SMS dan telepon.
Tekanan semacam itu bagaimanapun sudah menjadi tren pasca-pandemi Covid-19, ketika batas antara rumah dan pekerjaan menjadi kabur. Rachel Abdelnour, yang bekerja dalam bidang periklanan di Sydney, menyebut perubahan ini akan membantunya tidak terhubung dalam industri di mana kliennya sering kali memiliki jam kerja yang berbeda.
“Saya pikir sebenarnya sangat penting bagi kita untuk memiliki undang-undang seperti ini. Kita menghabiskan begitu banyak waktu untuk terhubung dengan ponsel kita, terhubung dengan email kita sepanjang hari, dan saya pikir sangat sulit untuk mematikannya,” ujar Abdelnour kepada Reuters.
Di sisi lain, reformasi ini mendapat sambutan yang dingin dari kalangan industri papan atas. Misalnya, the Australian Industry Group menyebut aturan baru tersebut sangat membingungkan.
“Kami khawatir ini akan menjadi sangat sulit, baik bagi perusahaan maupun karyawan, karena kita akan masuk ke wilayah yang belum dipetakan di sini. Biasanya selalu ada kesepakatan di suatu kantor tentang kapan seseorang bisa dan tidak bisa dihubungi. Saat ini, ada ketidakpastian yang besar tentang bagaimana undang-undang baru ini, lengkap dengan hukuman pidana bagi para pemberi kerja, akan benar-benar berjalan dalam praktiknya,” kata Innes Willox, Kepala Eksekutif grup tersebut kepada kantor berita AFP.
Menurut sebuah survei yang dilakukan Australia Institute, warga Australia bekerja rata-rata 281 jam lembur tanpa dibayar pada 2023. Mereka menilai waktu tersebut setara dengan sekitar 88 miliar dollar AS.
Dengan UU terbaru, Australia bergabung dengan sekitar dua lusin negara yang memiliki perlindungan serupa, termasuk Perancis, yang memperkenalkan peraturannya sendiri pada 2017. Meski bertujuan mendukung keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik, UU ini juga mengakui perlunya kontak darurat, yang memungkinkan pemberi kerja untuk menghubungi staf ketika diperlukan.